Senin, Januari 4

KESADARAN POLITIK MASYARAKAT KITA

Apa jadinya bangsa ini, jika para elit politik yang sudah seharusnya menentramkan masyarakat, tapi malah menciptakan kecemasan, bahkan mengeksploitasinya sedemikian rupa? Yang pasti saya berani mengatakan bahwa semua itu menunjukkan betapa sempitnya penalaran elit politik mereka. Pola pikirnya yang pendek dan pragmatis karena kepentingan kedudukan, tidak dapat menghasilkan argumentasi untuk mempertahankan gagasannya. Lebih mengherankan lagi, atas nama demokrasi para elit tersebut beranggapan bahwa kekuasaan hanya dapat dipertahankan atau dijatuhkan dengan pengerahan massa. Di sinilah berlaku sebuah pemahaman yang mengerikan: “semakin banyak massa yang dikerahkan, akan semakin besar posisi tawar menawar politik”. Artinya, dengan mengerahkan massa para elit politik itu seolah menyandera dan menunggangi masyarakat yang tidak mengerti apa-apa untuk mengikuti apa yang mereka kehendaki. Apa bedanya dengan hukum rimba? Adakalanya, sikap dan perilaku masyarakat kita nampak berlebihan dalam memaknai demokrasi, sehingga alih-alih memberikan kontribusi atas peningkatan kualitas demokrasi, justru sebaliknya, membunuh tatanan demokrasi yang baru saja hendak dibangun bersama-sama serta memporak porandakan impian tentang penegakkan sistem demokrasi. Dengan kata lain, masyarakat salah dalam hal memaknai demokrasi sebagai suatu kebebasan secara sempit. Begitu pun dalam hal pemahaman atas hukum. Tidak semuanya masyarakat faham akan sistem hukum. Hanya sedikit dari kebanyakan mereka, yang mengerti hukum. Oleh karenanya, kebebasan dijadikan pembenaran untuk mengambil hak-hak orang atau golongan tertentu, dengan cara yang tidak benar. Meskipun mungkin dari sudut pandang mereka sendiri, hak-hak yang diambil itu adalah hak mereka juga yang dulunya dirampas melalui penyelewengan penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan demikian maka tak heran, bila kondisi masyarakat yang seperti ‘rumput kering’ itu, diperkuda oleh para elit, untuk melancarkan politik teror, sebagai sarana untuk membusungkan dada. Demo dibalas demo, saling mengklaim dan mengkotak-kotakan massa sebagai pendukung suatu kekuatan tertentu. Singkatnya, pengerahan kekuatan massa menjadi model yang kian populer dan karenanya: dianggap legal.


Pengerahan massa memang bukan suatu hal yang salah, ketika masyarakat memang mengetahui betul persoalan di mana mereka terlibat. Artinya, tingkat pemahaman tertentu dari masyarakat untuk ikut atau tidak ikut memperjuangakan sesuatu yang disuarakan para elit. Paling tidak mereka mengetahui dulu motivasi apa sebenarnya. Konstelasi seperti apa yang ingin dibangun, serta target apa yang mesti dicapai dari aksinya. Tetapi marilah kita lihat kenyataan, bahwa dengan kurangnya pemahaman, rakyat pada akhirnya hanya menjadi Obyek Politik yang mudah ditunggangi.

Oleh karena itu, persoalan sesungguhnya terletak pada: sejauhmana para elit politik atau partai politik mampu memberikan pendidikan politik yang layak dan pantas. Kenapa demikian? Karena dalam ciri budaya parokial masyarakat politik kita, masih memungkinkan para elit untuk memainkan peran besar dalam mengkondisikan massa, dengan mendramatisir masalah untuk membangkitkan emosi massa. Padahal sudah terlalu berat masalah yang dihadapi oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pendidikan politik itu perlu untuk menghasilkan kesadaran. Dan kesadaran hanya terlahir dari rasionalitas berfikir, hati nurani yang jujur dan niat yang bersih untuk membangun masyarakat agar tegak di atas nilai-nilai agama dan moral, sehingga ia bermartabat.

Wajar dan tidak haram nampaknya seorang pemimpin politik mencari dukungan terhadap pikiran-pikiran dan kehendaknya. Tapi dukungan yang diberikan secara emosional, bukanlah dukungan sejati. Boleh jadi sebuah dukungan itu besar pada saat itu. Tapi kemudian akan kempes sendiri seiring waktu dan pertambahan informasi atas apa sebenarnya yang terjadi.

Dengan begitu, mungkin dapat kita simpulkan bahwa pengerahan massa yang begitu banyak, yang dibangun di atas emosionalitas tindakan sebagai hasil pembodohan-pembodohan politik, akan mengkerdilkan potensi legitimasi elit dalam koridor waktu. Dalam arti, mereka secara tidak sengaja menggali kuburan sendiri bagi kekuasaannya, ketika suatu saat masyarakat mulai pintar bahwasannya demokrasi mempunyai nilai ideal atas pencerahan dan pencerdasan pemikiran rakyat. Bukan sekedar partisipasi. Apalagi partisipasi rakyat yang membuta-tuli. Lihatlah Amerika. Di sana bisa kita temukan bahwa harga yang paling mahal bagi pendekar demokrasi adalah ketika ia telah keluar dari rambu-rambu nilai demokrasi dan melanggarnya dengan alasan demokrasi pula.

0 comments: